Tokyo.Sora // 2002 // Sutradara : Hiroshi Ishikawa, Jepang // Pemain
: Yuka Itaya, Haruka Igawa, Manami Honjo, Keishi Nagatsuka
Aku
ingin menemanimu menghidupkan kipas angin
Lalu
meneguk air mineral yang dingin.
Aku
ingin menemanimu
Menyalakan
televisi, menonton film biru dan mengisap candu
Aku
ingin menemanimu bermain-main dengan sepi di kamarmu
(Aku Ingin Menemanimu – Acep Zamzam Noor)
Sajak
milik Acep Zamzam Noor itu mendadak teringat ketika saya melihat adegan seorang perempuan yang nampak sedang menonton film porno didengar oleh perempuan lain di kamar sebelah. Tokyo.Sora—nama film ini—yang saya anggap aneh karena ketika usai menontonnya pertama kali, saya
bingung ingin mendeskripsikan filmnya bagaimana.
Lebih
aneh lagi ketika ternyata kebanyakan cerita-cerita itu bisa terasa mengesankan
dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Sebenarnya potret keseharian (portrait of everydayness) memang bukan
hal baru melainkan cara yang sering dilakukan sutradara-sutradara lain untuk bertutur.
Lepas dari dramatisasi berlebihan. Tanpa struktur plot atau babak-babak. Contoh
paling besar adalah Richard Linklater dalam Boyhood, sebuah studi selama 12
tahun tentang seorang anak yang tumbuh besar dan melewati banyak peristiwa
dalam hidupnya. Semua berjalan mengalir layaknya sebuah kehidupan biasa, minim
konflik dan hal yang paling membekas adalah bagaimana perubahan hidup para
karakter secara fisik dan emosi dari tahun ke tahun membuat kita merasa seperti bercermin.
Namun
setidaknya Boyhood masih bicara potret keseharian dengan teratur. Dari Mason
kecil hingga dewasa. Tidak berlompat-lompat atau pindah cerita sesuka hati. Berbeda dengan film garapan Hiroshi Ishikawa ini. Tokyo.Sora sungguh unik,
namun tidak bisa dipungkiri memberikan saya sebuah pengalaman baru menonton
film. Sebuah cara dengan gaya yang memang tidak semua orang akan mau mengerti. Disini ada beberapa hal yang ingin saya tulis tentang kesan apa yang
saya dapat dari filmnya (setelah menonton untuk yang kedua kalinya):
Film
ini secara garis besar menceritakan tentang sekilas kehidupan beberapa
perempuan di kota besar Tokyo. Hampir dari semua tokoh tidak disebutkan namanya
kecuali cerita Yoko (Yuka Itaya) dan Yuki (Haruka Igawa). Setengah jam pertama
cerita lebih menyorot tentang perempuan yang nampaknya berasal dari Hongkong
dan menjadi pendatang baru di Tokyo. Ia tidak bisa berbahasa Jepang, tidak
punya teman dan sering menghabiskan waktu di tempat laundry. Sangat menarik kemudian
mengamati bagaimana caranya mencari komunikasi dengan orang lain. Dalam sebuah
adegan sederhana namun membuat kita ikut tersenyum, ia membeli buku yang sama dengan yang dibaca
oleh seorang lelaki di tempat laundry. Sang lelaki mengajak bicara, namun permasalahan bahasa membuat dia tidak tahu apa yang tengah dibicarakan.
Perempuan
kedua berprofesi sebagai sales promotion
girl (dan nampaknya mengikuti beberapa casting). Ia tinggal di sebelah
kamar perempuan yang pertama. Ada yang terasa personal disini karena dulu saya
pernah tinggal di kos dan mengalami pengalaman yang serupa. Saya mengenal seseorang yang tinggal di sebelah kamar
saya. “Mengenal” dalam artian saya hanya menyadari keberadaannya dari bunyi
suara gaduh TV-nya, bau Indomie yang dia seduh serta kadang-kadang suara dia
sedang menelpon seseorang. Kami jarang berbicara kecuali jatuh menjadi
basa-basi namun kemudian, setiap kali dia ada di kamarnya saya merasa tidak
pernah kesepian. Cerita tentang dua perempuan yang tinggal bersebelahan tapi tidak saling berteman ini terjadi di setengah jam pertama, dan saya amat
sangat menyukainya.
Kemudian cerita berpindah lagi pada perempuan-perempuan lainnya. Masing-masing
adalah seorang perempuan yang terobsesi memiliki ukuran dada yang besar, tokoh
Yoko seorang penulis yang terobsesi seorang gadis bernama Yuki untuk bahan
tulisannya, juga seorang gadis berambut pendek yang mudah tertawa dalam
percakapan basa-basi bersama teman kerjanya.
Sulit
merangkaikan semua kisah memiliki gambaran utuh. Awalnya saya sampai berpikir
bahwa film ini ingin memperlihatkan posisi perempuan yang terbebani sosok
lelaki dalam independensi mereka, namun bisa jadi pemikiran saya terlalu jauh. Mungkin
Hiroshi Ishikawa hanya ingin mendokumentasikan penggalan cerita-cerita para
perempuan yang menjalani hidupnya di kota Tokyo. Bila Lost In Translation mengumbar
Tokyo yang ramai namun dua karakternya merasa kesepian, film ini kembali
menegaskan hal serupa. Bahkan mungkin lebih kosong dan dingin mengingat
film ini minim musik dan yang sering terdengar adalah suara jalanan Tokyo yang
gaduh sementara para tokohnya teralienasi di dalam ruangan.
Kamera
dipasang secara statis, kebanyakan dalam ruang-ruang tertutup tanpa ada
pergantian adegan sehingga layaknya sebuah kamera tersembunyi. Seakan ingin
kita penonton diposisikan sebagai orang luar yang mengintip dan berusaha ingin
tahu kehidupan karakter-karakter yang ada di layar dan tidak pernah bisa tahu banyak.
Yoko, seorang karakter yang berprofesi sebagai penulis berkata di tengah film
(terkait cerita yang ia tulis) bahwa “I
like this halfness. Being whole is dull”. Mungkin ini juga yang bisa
menjelaskan kenapa sang sutradara memilih cara yang setengah-setengah untuk
membuat filmnya, begitupun kemudian menjadi wajar bila penonton memiliki
interpretasi yang berbeda-beda (atau berakhir sebal dengan esensi nanggung-nya).
Percakapan kecil dan tindakan sepele dimaknai begitu penting oleh para karakternya, sering akan membuat penonton bertanya-tanya kenapa. Namun bukankah dalam kehidupan nyata, ketika keseharian
kita mulai kosong dan membosankan, hal-hal kecil seringkali jadi lebih
berharga? Kita sering bertemu orang-orang di luar sana yang kita harapkan untuk
kita kenal, namun kemudian kita hanya melewati mereka. Kita harus paham bahwa beberapa orang sudah merasa senang hanya sekedar berada dalam percakapan basa-basi ketika tidak ada pilihan lain kecuali kembali sendirian.
Tokyo.Sora menangkap basa-basi dan segala kekosongan itu: datar, acak, sepi, tanpa konflik, tidak terjelaskan secara sengaja. Mungkin film seperti ini sulit menjadi favorit semua orang namun tetap menarik diposisikan sebagai rekaman keseharian yang paling jujur.
Tokyo.Sora menangkap basa-basi dan segala kekosongan itu: datar, acak, sepi, tanpa konflik, tidak terjelaskan secara sengaja. Mungkin film seperti ini sulit menjadi favorit semua orang namun tetap menarik diposisikan sebagai rekaman keseharian yang paling jujur.
0 Comments