
Me and You and Everyone We Know // 2005 // Sutradara : Miranda July, Amerika // Pemain : Miranda July, John Hawkes, Miles Thompson, Brandon Ratcliff
Menonton Me and You and Everyone Know adalah sebuah pengalaman yang aneh. Tapi selesai menontonnya, ada perasaan tenang dan bahagia sama seperti menonton film drama cinta dengan ending berbunga-bunga. Atau malah, lebih dari itu.
Sick and strange society, loneliness, desperation in digital era seakan menjadi tema yang merangkai keseluruhan film ini. Apakah ini film komedi romantis? Memang tapi nampaknya kurang tepat juga karena filmnya membahas hal yang lebih besar dari itu. Apa ini film tentang kedewasaan yang dipaksakan hadir seiring perkembangan jaman dan teknologi? Tentang eksplor seksualitas? Atau mungkin tentang kesepian yang bahkan terlalu egois untuk dibagi kepada orang lain? Semua pertanyaan nampak bisa dijawab dengan satu jawaban ya oleh film ini. Tapi saya paling suka menganggap film ini bicara hal paling jujur tentang kehidupan, setidaknya kehidupan yang sedang tergambar saat segala yang virtual sudah menjajaki tiap hari kita. Film ini diolah tahun 2005, jadi saya rasa memang pas untuk memotret masa dimana internet mulai memasuki masa perkembangan sampai semakin suburnya sebelas tahun kemudian.
Di awal, filmnya seakan menjanjikan kisah cinta antara
Christine (Miranda July) seorang wanita yang berambisi mengorbitkan karyanya di
museum seni kontemporer dan Richard (John Hawkes) seorang pegawai toko sepatu
yang baru berpisah dengan pasangannya. Namun bukannya mendapati fokus dinamika
hubungan mereka seperti jabaran romansa biasa, film melebarkan cerita pada
karakter-karakter di sekitar lingkungan perumahan yang memiliki kaitan hubungan
dengan dua tokoh utama. Ada dua bocah lelaki yang merupakan anak Richard yaitu
Peter dan Robby, ada dua remaja yang penuh rasa ingin tahu tentang seks
(sebenarnya semua tokoh abg di film ini diceritakan amat dekat dengan isu kedewasaan
dan seksualitas), ada anak tetangga yang hobi mengoleksi barang-barang rumah
tangga juga seorang kurator seni yang nampak dingin, kesepian dan kehilangan
percaya diri. Tentu kita paham bahwa rangkaian cerita yang terbagi-bagi ini
nanti akan menyatu dan saling menyimpul, namun patut dipuji bagaimana usaha
Miranda July selaku pemain, sutradara dan penulis cerita menyusun babak demi
babak dengan rapi. Mengesankan karena film ini terkesan loose dan tanpa tujuan
apa-apa. Tidak ada plot linear dan dialog yang terjadi antar karakter pun
jangan diharap selancar bagaimana Jesse dan Celine saling bercakap sepanjang
Before Sunrise. Interaksi dalam film ini terasa ajaib, kadang terasa dingin dan
kaku (seperti saat Peter dan Robby berkomunikasi dengan ayahnya) atau kebanyakan
pula ngelantur meski sebenarnya tersembunyi makna dari ngelantur yang panjang
tersebut. Ini menarik karena saya menonton banyak film juga menggunakan jurus
sama (ngelantur untuk berpuitis) namun ternyata benar jatuh ke ngelantur dan
ketika datang makna puitis, yang terlihat adalah sok berpuitis. Me and You and
Everyone We Know berbeda karena arahan sutradara mampu membuat keberadaan
dialog seganjil seapapun itu pas dengan tone dan keseluruhan konstruksi cerita.
Kita diperkenalkan dari awal bahwa film ini akan menjadi sesuatu yang unik. Dan
maka penempatan dialog-dialog jadi sempurna mengikuti cara filmnya bercerita.
Kekuatan Me and You and Everyone We Know lain juga adalah
pada deskripsi karakternya. Karakter-karakter dalam film ini merupakan karakter
sehari-hari dan rumahan, mereka adalah everyday people yang bisa mudah kita
temui disekitar atau malah pada tatanan anggota keluarga sendiri. Masalah yang
terjadi di sepanjang film bisa dibilang nyaris minimalis karena yang menjadi
titik masalahnya ditempatkan pada kompleksitas karakter dan kepribadiannya. Kendali
July untuk menggali sikap dan kepribadian para karakter beragam inilah yang
juga menjadi satu poin juara, karena bila tidak bisa malah karakter-karakternya
terlihat jauh dan berjarak dengan penonton. Soal karakter ini sendiri
menarik untuk dibahas lebih dalam. Saya tuliskan satu demi satu di sini.
Pertama, bagaimana di awal, karakter-karakter ini digambarkan
saling terasing satu sama lain; mereka tahu mereka dan orang-orang di sekitar
mereka terluka dan kesepian tapi terlalu egois untuk saling menolong. Semuanya sibuk oleh diri sendiri, mungkin kecuali karakterChristine yang hopeless romantic dan berkeinginan menakhlukkan hati Richard. Simak sebuah adegan menarik saat Christine dan Richard berjalan
menuju mobil masing-masing dan Christine menganalogikan momen saat itu sebagai
sisa kehidupan mereka berdua sebelum sampai ke akhir dunia. Adegan ini unik
sekaligus manis, juga sebenarnya penuh dengan kecanggungan dan ketidaknyamanan,
ketakutan akan penolakan sekaligus harapan untuk tidak ditinggal kesepian.
Karakter lain juga sama begitu. Baik Peter dan Robby
pelan-pelan tinggal di dunia versi mereka masing-masing selepas perpisahan
orangtuanya. Peter dalam godaan pubertas dan pencarian kedewasaan (yang pada
akhirnya mempertemukannya dengan dua remaja yang juga gatal mencari pengalaman)
sementara Robby larut dalam dunia dimana setiap orang adalah anonim dan ruang
lingkup online adalah dunia tidak berbatas, penuh curiousity sekaligus
kepolosan. Ada satu adegan pendek yang saya suka ketika komputer menyala dan
menampakkan gambar puluhan bintang di langit lalu Robby menatap gambar di layar
itu dengan seksama. Apakah ini gambaran internet bagi banyak orang? Kesimpulan
bahwa internet terlihat seindah itu, semenarik itu, seajaib itu?
Sementara karakter Tracy sang kurator seni yang dingin dan kesepian nampak paling
minimalis di film ini, namun ternyata ia juga menghasilkan ironi yang sama
tentang orang kesepian yang menolak orang kesepian lainnya (Tracy tak terlalu
peduli pada keberadaan Christine). Ada pula Andrew, pria tetangga yang menyalurkan
segala mimpi dan khayalan basahnya pada sepasang remaja ABG lewat kertas-kertas
yang ditempel di kaca jendela namun takut bertemu di luar rumah. Kemungkinan
besar ini cerminan dunia cyberspace ketika semua orang berani mengatakan apapun
di laman dan forum internet; bahkan segala hal tergila, terliar dan tak bisa diterima
bila seandainya dikatakan di ruang publik terbuka. Terakhir adalah Sylvie,
karakter seorang anak perempuan yang suka mengoleksi barang-barang rumah
tangga. Meski baru berusia 10 tahun, Sylvie penuh ambisi akan kedewasaan dan
bisa kita simpulkan keinginannya mengoleksi barang-barang tersebut adalah
semacam mimpi tentang kehidupan dewasa, pernikahan dan rumah tangga di masa
depan yang ideal menurutnya (yang dalam film ini, menemui realita pahitnya).
Terlepas dari cerita Richard dan Christine yang mencari
harapan dengan cara yang paling sederhana yaitu jatuh cinta lagi, semua
karakter-karakter di atas nampak mencoba (atau terperangkap) dalam ruang-ruang
baru sekaligus asing. Lingkungan dan ruang yang menghidupi mereka penuh
keganjilan seakan inilah ruang-ruang yang tercipta untuk generasi digital;
nampak ringan dan tenang namun sebenarnya rumit, instan, aneh bin ajaib.
![]() |
Miranda July tahu jelas apa yang dia buat dan ingin katakan.
Filmnya punya jalinan cerita yang rapi namun tak lupa memiliki sisi artistik,
simbol-simbol yang kuat juga sisi puitis yang tak dipaksakan. Ada banyak adegan
favorit saya di film ini, tapi dua yang paling saya sulit lupakan : adegan
Peter menjelaskan tentang dunia yang mereka tinggali lewat beragam titik-titik
di atas kertas mewakili kita yang putus asa, terus punya harapan atau berada di
antaranya juga adegan Richard dan Christine bertemu lagi menjelang akhir film. Dua
adegan itu mendeskripsikan bukan saja kejelasan visi utama sutradaranya namun
mengambil dua langkah lebih maju ke depan ketimbang memperlihatkan segala sindiran teknologi
dan digitalisasi yang sering dipertontonkan film-film dewasa ini.
Me and You and
Everyone We Know bekerja sebagai sebuah film yang lebih dari sekedar menyindir dan
memperlihatkan realitas yang ada, perbedaannya adalah film ini membuat
statement sendiri. Dan bunyi statement itu nampak ringan, nampak pula bukan
sesuatu yang baru tapi memang seringkali terlupakan oleh kita yang disibukkan
perkara komputer, internet dan segala macamnya setiap hari. Kita seperti
diingatkan lagi bahwa ya, memang bahagia itu sederhana meski seringkali
kebingungan dan keputusasaan membuat kita jauh dari segala yang sederhana.

0 Comments